30 Agustus 2015

Catatan Fendy Sutrisna : Angin adalah Masa Depan Indonesia

Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera buat kita semua, semoga kita semua dimudahkan dalam memahami dan menerapakan ilmu-Nya
Susah rasanya kalau saya yang masih mahasiswa menjelaskan lebih spesifik perihal efektifitas penerapan angin sebagai primary mover pada pembangkit listrik. Nah melalui akun facebook-nya Catatan Fendy Sutrisna, kang Fendy memiliki daftar masalah dalam mendesaian sistem pembangkit listrik tenaga angin (PLTB), Diantaranya beliau meringkas sebagai berikut :
  1. Karakteristik kecepatan angin di Indonesia yang cenderung fluktuatif : hal ini menyebabkan sistem turbin angin yang didesain harus mampu menghasilkan listrik pada kecepatan angin berapapun.
  2. Mahal : Solusi untuk kecepata angin yg fluktuatif di Indonesia adalah penggunaan teknologi turbin angin variable speed (agar dapat menghasilkan listrik secara optimal pada rentang kecepatan angin yang berubah-ubah) membuat sistem turbin angin dengan skala besar menjadi mahal.
  3. Penggunaan sistem turbin angin dengan generator induksi dapat menekan biaya instalasi PLTB, namun agar dapat menghasilkan daya aktif sistem ini harus terkoneksi grid. Kesimpulannya desain ini baru akan berhasil menghasilkan listrik secara ekonomis dan efisien apabila dikoneksikan dengan jaringan grid yang besar seperti sistem Jawa – Madura – Bali.
  4. Umumnya jarak antara lokasi PLTB dan pusat beban cukup jauh, karena belum tentu lokasi pada pusat beban memiliki potensi angin yang cukup memadai.
  5. Tegangan keluaran generator PLTB yang rendah : Dibutuhkan saluran distribusi tegangan tinggi untie membagikan daya listrik yang biasanya dapat dicapai dengan menggunakan trafo. Sayangnya penggunaan trafo membuat sistem pembangkit menjadi lebih besar, lebih mahal dan menghasilkan rugi-rugi tambahan yang cukup signifikan.

Beliau menambahkan bahwa tanah air kita ini beradi di garis khatulistiwa, sehingga memiliki potensi tenaga angin hanya untuk pembangkit listrik tenaga angin (PLTB) berkapasitas kecil.  Akan tetapi daerah semisal NTB dan NTT dan sekitarnya, memiliki kecepatan angin di atas rata-rata, yaitu diatas sekitar 4 m/s. PLTB yang cocok dikembangkan di Indonesia adalah pembangkit listrik dengan kapasitas di bawah 100 kW.
Teknologi PLTB saat ini dapat mengubah energi gerak angin menjadi energi listrik dengan efisiensi rata-rata sebesar 40%. Efisiensi 40% ini disebabkan karena akan selalu ada energi kinetik yang tersisa pada angin saat melewati kincir angin. Energi kinetik angin (P ; Watt) bergantung terhadap faktor-faktor seperti aliran massa angin (m ; kg/s), kecepatan angin (v ; m/s), densitas udara (ρ ; kg/m3), luas permukaan area efektif turbin (A ; m3 ). Dimana, energi angin akan meningkat 8 kali lipat apabila kecepatan angin menjadi 2 kali lipatnya.
Selain itu, kecepatan angin juga sangat dipengaruhi oleh ketinggiannya dari permukaan tanah. Semakin mendekati permukaan tanah, kecepatan angin semakin rendah karena adanya gaya gesek antara permukaan tanah dan angin. Untuk alasan ini, PLTB biasanya dibangun dengan menggunakan tower yang tinggi atau dipasang diatas bangunan. Tempat ideal untuk mendapatkan angin dengan kecepatan tinggi adalah padang rumput yang datar, pesisir pantai dan kemudian diikuti dengan daerah sawah dan perkebunan.
Pandangan saya adalah Pemerintah/PLN tidak boleh berpikir bahwa negara kita tidak cocok untuk membangun PLTB. Sekecil apapun daya yang dihasilkan PLTB, tetaplah harus di bangun. Tercatat provinsi NTB dan NTT memiliki rasio elektrifikasi 53,2% dan 53,3% (sumber: PLN tahun 2013). Kehadiran PLTB di kedua provinsi tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktifitas ekonomi regional.
Semoga generasi saat ini tidak lupa bahwa keinginan para pejuang kemerdekaan yang tercantum pada sila ke-5 Pancasila berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" bisa terwujud. Wassalamu’alaikum wR wB.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar